Rentang waktu yang jauh (40 –
43 tahun) antara silsilah keguruan keempat, Imam Ja’far as-Shadiq yang wafat
148 H/767 M, dengan yang kelima, Syaikh Abu Yazid al-Bistami yang lahir 188
H/804 M, tidak bisa dikatakan ‘terputus’. Banyak tokoh-tokoh sufi pada masa
itu yang berguru kepada Imam Ja’far as-Shadiq, yang kelak menjadi guru bagi
Syaikh Abu Yazid al-Bistami. Tentang tidak tersebutnya nama-nama beliau dalam
silsilah keguruan ini suatu hal yang wajar. Mengingat tidak sedikit tokoh-
tokoh sufi yang berpesan agar kelak namanya tidak disebut dalam silsilah
keguruan yang lazim tertuang dalam ijazah.
SYAIKH ABU
HASYIM AL-KUFI
Nama lengkapnya Syaikh Abu
Hasyim Utsman ibn Syarik, yang dikenal dengan panggilan Syaikh Abu Hasyim
“al-Kufi” dan kadang juga disebut “al-Sufi”. Dalam penyebutan nasab terakhir
dari namanya, terjadi perbedaan pendapat di antara para sufi.
Ada yang menyebut dari Kufah,
ada juga yang mengatakan dari Syria atau Syam. Bahkan ada juga yang menyatakan
dari Baghdad. Artinya, pada nama terakhir digelari “al-Kufi” atau “al-Syiami”
atau “al-Baghdadi”. Para ahli tasawuf lebih sepakat mengatakan Syaikh Abu
Hasyim berasal dari Kufah, sehingga lebih banyak yang menyebut Syaikh Abu
Hasyim al-Kufi. Dalam kitab Hilyah al-Awliya, namanya disebut dengan Syaikh Abu
Hasyim al-Zahid. Sebutan al-Zahid merujuk pada sikap hidup beliau yang zuhud.
Riwayat hidup Syaikh Abu
Hasyim al-Kufi sulit ditemukan karena sedikit sekali yang tercatat dalam
literatur-literatur tasawuf. Padahal, diakui bahwa posisi Syaikh Abu Hasyim
al-Kufi sangat penting dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan tasawuf.
Mengingat beliau adalah orang pertama yang menggunakan istilah Sufi. Sebelumnya
orang tidak mengenal istilah sufi atau tasawuf.
Kehidupan ruhani yang dihiasi
dengan sikap zuhud telah membuat Abu Hasyim al-Kufi digelari sebagai seorang
zahid. Beliau hidup sederhana dan menghindari segala bentuk kemewahan dan
kelezatan duniawi. Sikap tersebut mengikuti teladan Rasulullah SAW dan para
sahabat. Banyak hadits dan riwayat menerangkan kehidupan Rasulullah SAW sebagai
rujukan utama kehidupan ruhaniah kaum muslim.
SYAIKH ABDUL WAHID ZAYD ABD
WAHHAB
Beliau adalah orang pertama
yang memperkenalkan istilah isyq atau ‘cinta penuh gairah’. Untuk menggambarkan
hubungan manusia dengan Tuhan. Hanya saja, kemasyhurannya kalah dengan apa yang
telah dicapai Rabi’ah al-Adawiyah, sufi wanita ternama di Bashrah. Mengenai
tahun lahir Syaikh Abdul Wahid Zayd Abdul Wahhab tidak diketahui secara pasti,
tetapi Beliau diperkirakan wafat pada 177 H/793 M.
Ibnu Taymiyah menganggap
beliau sebagai sufi pertama yang ucapanucapannya telah memberi pengaruh luar
biasa. Tergambar dalam setiap ucapan beliau sikap kecintaan kepada Allah SWT
yang mendalam serta rasa takut yang sangat. Beliau pun disebut-sebut sebagai
perintis pendirian kelompok ‘Penggapai Cinta Ilahi’ yang menjadi cikal bakal
kelompok-kelompok tarekat.
Sebagai tokoh sufi awal, tidak
banyak yang dapat diketahui tentang biografinya. Para penulis tokoh-tokoh
ensiklopedik sufi, jarang memasukan nama beliau. Satu-satunya kitab yang
menuliskan informasi tentang Syaikh Abdul Wahid adalah Hilyat al-Awliya’ wa
Tabaqat al-Asfiya’ karya Abu Nu’aym Ahmad ibn Abd Allah al-Asfahani. Itu pun
hanya sebatas anekdot dan ujaran-ujarannya.
RABI’AH AL-ADAWIYAH
Di antara para auliya’
(kekasih) Allah, ada seorang wanita yang merupakan “Obor Cinta Ilahi” (ra’idat
al-hubb al-Ilahi). Yaitu orang yang berada di barisan terdepan jalan-jalan
kesufian, seorang wanita yang zuhud dan ahli ibadah, seorang pecinta sejati,
yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Ia adalah seorang yang telah fana’
(meleburkan diri) dalam berhubungan dengan Allah, dialah mursyidat al-salikin
(pembimbing kaum suluk), dan sayyidat al-zuhhad, pemimpin kaum zuhud.
Yaitu orang yang berada di
barisan terdepan jalan-jalan kesufian, seorang wanita yang zuhud dan ahli
ibadah, seorang pecinta sejati, yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Ia adalah
seorang yang telah fana’ (meleburkan diri) dalam berhubungan dengan Allah,
dialah mursyidat al-salikin (pembimbing kaum suluk), dan sayyidat al-zuhhad,
pemimpin kaum zuhud.
Sesungguhnya Rabi’ah
al-Adawiyah dan orang-orang yang seperti dirinya, adalah para juru dakwah yang
menyeru kepada keimanan, serta merupakan para duta pengembanan risalah ruhani.
Mereka adalah menara-menara sejarah (manarat al-tarikh) dan
panji-panji barisan kebahagiaan di jalan yang panjang dan melelahkan. Mereka
adalah orang-orang yang menyebar wewangian di alam dan mewariskan alam semesta,
yang mereka tinggalkan di belakang sebagai petunjuk. Mereka adalah kepanjangan
tangan dari risalah para rasul. Dan mereka adalah para penebar cahaya para
nabi.
Dalam sejarah, cahaya mereka
semakin abadi karena mereka sendiri adalah simbol yang kukuh dan menjadi
tokoh-tokoh zaman. Sebagaimana digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya :
Maka perumpamaan buih adalah
ia akan lenyap bersamaan dengan datangnya musim kemarau, sedangkan yang
bermanfaat bagi umat manusia maka ia akan tetap kekal di bumi. (QS.al-Ra’ad:17)
Rabi’ah al-Adawiyah adalah
figur ketakwaan, sifat wara’, sikap zuhud dan sikap ridha, yang jarang
ditemukan sepanjang zaman. Ia dilahirkan di kota Bashrah Iraq dengan nama Rabi’ah
al-Adawiyah Ummul Khair. Ayahnya telah wafat saat ia masih remaja. Ketika itu
keadaannya sangat memprihatinkan sehingga ia tidak bisa menghadapi kehidupan
dan memikul beban-beban yang berat.
Rabi’ah al-Adawiyah wafat pada
tahun 180 H, pada umur delapan puluh tahun. Saat itu yang menyelimuti tubuhnya
hanyalah kain kafan yang terbuat dari kain shuf (wool), yang selalu terletak
dihadapannya dan ia bawa kemana pun ia pergi hingga menjadi kain kafannya.
Sampai saat ini, tidak diketahui secara pasti di mana lokasi makam Rabi’ah
al-Adawiyah.
Dipetik dari:
-Ensiklopedi Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah, Penerbit Angkasa Bandung (2008)
-Rabi’ah Sang Obor Cinta, An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A Halim Mahmud, Penerbit Sabda Persada Yogyakarta (2003)
-Ensiklopedi Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah, Penerbit Angkasa Bandung (2008)
-Rabi’ah Sang Obor Cinta, An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A Halim Mahmud, Penerbit Sabda Persada Yogyakarta (2003)
Tidak ada komentar
Posting Komentar